Selasa, 22 November 2011

Aivetsu Chapter 2


CHAPTER 2: Pertemuan mengejutkan.


“HEI, tunggu.” Arifa melihat pohon beringin besar, tapi dua sahabatnya itu tidak. “Balik, ayo ke peternakan. Ada yang aneh. Kudengar, peternakan itu bersih. Tapi tadi nggak. Jangan-jangan……,” Arifa melaju Itachi dengan kecepatan turbo. Lalu, merek sampai di bukit dekat peternakan. Mereka lihat, ada teriakan. Sepertinya paman palsu Fred.
     “HUH!” Arifa segera melihat Miyya dengan sigap. Arifa video, Arifa merekam. “AKU CAPEK MENYAMAR JADI SI SIAL FRED! SAMPAI KAPAN MAGE, AKU MENYAMAR BEGINI?” teriak Paman-palsu Fred.
     “Ini tugas bos, dia akan mengambil emas yang ada di sekitaar sini. Semua penduduk desa juga ada di hutan gelap. Dan…, hush. Diam. Aku mendengar suara. Kalau suara itu orang yang tidak dikenal, mati aku.” Kata Bibi Fawn atau Mage itu. Arifa menatap keduanya dengan seksama. Dia beralih ke sahabatnya.
     “Mengerti? Sepertinya… hei, ada Koran melayang!” Yvi menangkapnya.
Mahkota Ratu Louiselle dicuri! Pencurinya ahli menyamar, dan dia mempunyai banyak pengikut. Dua adalah narapidana yang kabur. Desa livinghorn juga pedunduknya makin aneh. Namun bisa dikatakan, secara fisik mirip sekali.
     “Oh, mungkin saja itu…,” mereka bertatapan. Mereka melaju kuda. Arifa berkirim pesan pada Anifer, segera naiki kuda arah jam 2. Mereka mengendarai kuda, dan lalu bingung. Miyya terjatuh dari punggung Jo. Datang kakek-kakek yang begitu rapuh.
     “A..ai..r..,” Arifa mengambil botol yang masih baru, lalu memberikannya. “Terima kasih. Kau punya makanan? Aku sangat lapar,” pinta kakek itu, masih lemah. Yvi memberi roti keju. Miyya masih kesakitan.
     “Terima kasih. Sangat. Bolehkah aku meminta air dan beberapa potong roti? Juga keju itu, nak. Dan juga roti tumpuk satu.” Arifa meyeringai. Dia mengambil roti lima dari tas di punggung Itachi, dan tujuh botol air minum. Dia mengambil sandwich dua.
     “Ini kek. Anda pasti lapar. Minumnya juga kutaruh banyak. Ahai, kita harus buru-buru mencari dokter. Lalu, kami akan ke hutan gelap,” spontan, kakek itu terkejut.
     “Kau mata-mata Lupino!? Jangan bunuh aku!”
     “Apa yang anda bicarakan, sih?” Tanya Yvi. “Kami ingin menyelamatkan penduduk desa. Dan kaki teman kami agak ya… sakit. Tetapi kami bingung dimana arahnya. Semua orang disini tidak dapat dipercaya,” Jag mengaum pelan, seperti mengiyakan. Kakek menghembuskan napas lega.
     “Aku penduduk desa yang tertangkap. Aku kabur. Disana menyeramkan. Aku capek berlari. Kau, kan tahu aku sudah tua. Nah, mari aku antarkan.”




“Anda tidak apa-apa?”
     “Anda terluka!”
     “Astaga, gadis ini patah kakinya! Kau apakan?”
     “Makanlah roti ini, pak.”
     Sibuk sekali. Mereka bertemu dengan penduduk desa. Untung ada kuda. Dengan kuda, makin gampang perjalanan mereka. Lumpur hisap adalah yang paling ditakuti. Miyya Diobati oleh Dokter Al. yang juga dikurung.
     “Baguslah. Bala bantuan akan datang. Teman saya akan bawa roti sekarung atau lebih dan air sebanyak-banyakknya. Benar saja. Anifer datang dengan empat karung. Mereka semua lalu langsung makan.
     “Ingat, satu roti dua orang, ya. Minumnya satu orang!” seru Yvi. Mereka tersenyum sambil mengambil dengan teratur. Arifa tersenyum. Setelah semua kebagian makanan, Kakek itu memohon pada mereka berempat.
     “Tolonglah, bawa lagi makanan. Paling sedikit seminggu kedepan!” mohon Kakek itu, bersujud.
     “Tidak usah bersujud,” senyum Arifa. “Mungkin. Mungkin besok kita bisa kesini kalau tidak konser, atau kalau kami sudah pulang,----yah kami meminta maaf sebenarnya.” Kakek itu menunduk.
     “Ehm, maaf menganggu. Kaki anak ini baru satu bulan bisa sembuh. Sudah saja balut dengan pembalut keras,” kata Dokter Al. Arifa dan Anifer, berpandangan.
     “Ehm, kau tahu Anifer. Mainlah gitar. Aku akan drum. Aku tahu kau bisa nyanyi,” Arifa murah hati. Anifer tampak tidak yakin. “Oke, kami berangkat! MIyya, duduklah di belakangku.”




     “Bagaimana kalau microphone nya dipasang diatas Arifa? Bisa?” usul Sophie. Arifa mendesah. “Entahlah,”
     “Aku jelek nyanyi. Nah, bagaimana kalau Yvi?”
     “Hm,” katanya berkomentar. “Tidak.”
     “Kenapa? Kau bisa. Ya, kan?”
     “Beribu tidak! Dengar… sekali saja Arifa nyanyi lalu aku! Janji!”
     “Bener?”
     “Tidak!” Yvi lari. Arifa dapat mengejarnya. Dia mencekram Yvi.
     “Untuk kali ini aku. Lain kali? Kamu!” Yvi tersenyum memelas. “Sampai Miyya sembuh saja, kok.” Arifa menunduk. “Kerja sebagai drummer itu berat. Kita berdua duet aja ya?” Tanya Arifa. Yvi mulai merajuk. Dia marah.
     “KALAU BEGITU, COBA GEBUK DRUM DENGAN SIBUK DAN NYANYI!” seru Arifa juga naik darah. Yvi mencobanya. Sulit sekalli. Dia mengalah.







     “Ohayou. Hm~ ngantuknya… hm, ayo! Kita harus balik ke rumah, pulang, menikmati kesumpekan sekolah.”  Yvi tersenyum.
     “Bu Daru SMS, katanya sekolah libur seminggu. Mulai besok. Dan kita bisa bebas selama seminggu, asyik!” Anifer tersenyum senang, tanpa memperhatikan perkataan Yvi. Arifa lalu mengambil Itachi. Yvi mengambil Sasuke. Mereka melaju, dan mereka sampai di desa sebelah, yang berkilometer jauhnya.
     “Nah, ayo beli makanan. Beli saja di toko roti itu. Ayo! Parkirkan kuda kita disana!” seru Yvi. Mereka  memarkirkan kuda mereka. Lalu, mereka masuk.
     “Berapa harga roti?” Tanya Arifa.
     “10 yen,” jawab konter itu. Spontan Arifa berbalik pergi. Mereka mengendarai kuda ke pelosok desa paling kecil. Hampir bangkrut.
     “Permisi, saya mau beli roti,” kata Arifa.
     “Ambilah semua. Sama nasinya, lauknnya, semua” bapak itu sedih. Dengan gembira Yvi mengambil semuanya, sekiranya ada 200 botol dan persedian makanan yang cukup banyak.
     “Hm, terima kasih, pak. Ini, 100 yen. Hanya segitu yang dapat saya berikan,” Senyum Arifa mengembang. Bapak itu mengacuhkan mereka. Arifa lalu menaiki kudanya, kembali.





“Banyak sekali!” Ayitha terkejut. Mereka mengangguk, lalu mengambil airnya 100, lalu makanannya seperti sandwich, beberapa daging kare, nasi, keju, perkedel, dan ayam goreng dikemas dengan kemasan lucu. Mereka bergerak, dan tiba-tiba melihat paman-palsu Fred. Paman-palsu Fred agak kikuk. Untung mereka membawa Anifer serta pula.
     “Eh, hai,” sapanya kaku. “Siapa kalian? Untuk apa kalian kesini? Kalian dari mana? Kalau kalian mengenalku, mana kata sandinya?”
     “Ho, kau ngapain? Mana Mage?” Yvi pura-pura kenal.
     “Ah, kalian suruhan bos. O, yaa, ya!” Paman-palsu Fred memang pikun. Tapi, ini kesempatan emas.
     “Sudahlah, Bob. Diam kau. Biar kami yang…,” Arifa menyikut Anifer yang sok tahu.
     “He-emh. Saya, Bob  akan kembali,” Bob mengangguk. Mereka melongo. Lalu mereka tetap jalan, dan akhirnya sampai. Kakek itu menunggu dan kemudian gembira. Arifa turun, memberikan boks itu.
     “Makanan hari ini. Kami hanya bisa segitu. Nanti mereka curiga. Maaf. Kami … uh… bagaimana kalau kalian pindah? Sebentar,” Arifa mengajak Yvi menjelajahi bukit, tetapi mereka menahan. Mereka ingin melihat mereka konser. Mereka bertatapan. Mereka menggeleng.
      “Maaf, tidak bisaa.” Arifa mengendarai kudanya. Dia sampai di tempat yang ada buah-buahannya. Hm. Bagus. Arifa mendapat pesan.

Aku pulang. Ibu telepon dan cemas akan keadaanku. Pulanglah bersamaku kalau kau peduli padaku, bukan dengan si sial orang desa. Ayitha dan Sophie hanya mau pulang jika ada kamu. –Miyya- Quxk! >;p

     Arifa tahu arti kata itu. Arifa membalas.

Kau apakan Miyya? Mana Miyya?

     SMS terbalas lagi.

Aku Miyya bodoh. Aku… aku…

     Nah, penulis hadirkan saja tabelnya. Yang bergaris tegak Arifa. Miring Miyya.


Sudah, jangan seperti anak kecil.
Apa maksudmu, hah?
INI NYAWA ORANG, miyya!
Sampai kaugunakan kapital kecil untuk namaku! Lancangnya kamu!
Kamu! Ini kan nyawa orang! Kenapa tidak pulang sendiri? Bodoh!
EUh! DASAR KAMU !
Kamu dasar penakut!
Maaf, aku bersifat kasar. Aku akan pulang, Ar. Antarkan aku.

     Pembicaraan yang kurang nyaman itu akhirnya berakhir. Arifa memacu kudanya, agak mengacuhkan pesan itu. Dia menemukan tempat atau gua yang bagus.  Arifa kembali ke perkemahan. Dia bertemu Miyya meringkuk.
     Arifa menyentuh dahinya. Astaga, panas sekali! Arifa menyalahkan diri sendiri, dan datanglah Shi. Ia terkejut dengan suhu badan Miyya. Dia dengan cekatan merawat Miyya. Miyya tertidur setelah memakan sup hangat. Arifa khawatir sekali.
     “Sudah, deh. Kalian kemah disini, ya? Kami sudah pulang. Ya… maaf bila kubawa Akira kesini,” Shi selesai merawat Miyya. Dia lalu segera menoleh pada Arifa. “Kalian sebaiknya pulang.”
     Suara Arifa serasa tercekik. Dia menatap ke bawah terus, dan lalu menatap ke bukit. “Baiklah.” Shi segera keluar. Arifa diluar, melihat Akira.
     “Akira, kita harus bicara!” seru Arifa. “Aku tahu kamu lebih tua dari aku, dan tak sepantasnya aku sekurang ajar ini. Apakah dalam kompetisi itu kalian berbuat curang? Aku tahu kau tidak akan buka mulut.”
     Akira lama diam. “Ti…tidak. Se…se..sepertinya tidak. Bos eh maksudku Kak eh maksudku Namra belum menyuruh apapun pada kami disini tentang penyeludupan.” Akira tersenyum gugup. “Upsi…”
     “Penyeludupan?” Arifa mengangkat sebelah alisnya. “Kami?” Akira jatuh ke bawah.
     “Percayalah, Arifa. Aku hanya terbawa Koran yang kubaca!” Arifa geram. Jag melihat Arifa geram, langsung menuju ke Arifa dan meraung-raung.
     “MAAF! Kami adalah Aku dan Pak Sugito, sang pelayan yang menyapa kalian kasar. Kami berencana membuat kalian terkurung disini.  Yang merencanakan Pak Sugito. Aku dipaksanya. Kami… kami tadi menyiapkan makanan yang dimakan Miyya membuatnya emosional dan menjadi sakit. Lalu, aku di desa tidak ada urusan apa-apa. Aku hanya berpikir kalau aku kesini sendiri pasti dimarahi Ibu. Dan personel band lainnya sibuk dan gampang curiga. Jadilah aku mendengar kabar Shi dan Go akan ke desa yang sama dengan kalian. Aku menawarkan diri ikut. Mereka setuju walaupun segan. Dan blar! Pak Sugito baru saja merencanakan mengurung kalian. Tujuanku sebenarnya adalah… menyembunyikan alat musik salah satu dari kalian. Puas? Dan itu…,” jelas Akira.
     “Gagal tentunya. Hebat! Kau tidak menyangka Shi anak laki-laki yang baik, bukan? Mengurusi perempuan !” sela Arifa. Shi datang.
     “Dia akan sembuh, aku tidak mau adikku sakit,” semua terperangah. Dia kakak Miyya, bukan Sophie?
     “Oke. Akira, kau akan di skors atas perbuatanmu!” Go segera memborgol tangan Akira. Asal tahu, Go adalah polisi sekolah, sebagai jendral! Go heran, sampai-sampainya dia pangling dari akal licik busuk Akira dan antek-anteknya. Akira merajuk dan berkelit. Go menginjak kakinya.
     “DIAM DASAR BERANDAL KECIL!” Go mengecangkan suaranya. “Hukumanmu berat karena sudah MERACUNI dan BEKERJA SAMA dengan ORANG ASING!” Akira menunduk. “Kau tidak mungkin berbuat seperti ini lagi!” Go, jangan diucapkan. Karena itu kekeliruan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar